Saturday, July 7, 2012

“Bermain chamber music? Memang penting?”


“Bermain chamber music? Memang penting?” 

Renungan by Teguh Sukaryo

Mungkin pertanyaan analogy-nya begini: “Berinteraksi dengan sesama? Memang penting?” Kita semua tahu bahwa manusia adalah mahluk sosial, bukan? Tidaklah lengkap dan bijaksana jika kita memotong akses kita untuk bersosialisasi. Dalam peribahasa bahasa Inggris-nya: “No man is an island” yang artinya kita merupakan bagian dari keseluruhan yang tidak dapat dipisahkan.

Demikian juga untuk menjadi pemusik yang baik dan lengkap, bermain chamber music adalah essensial. Mengiringi penyanyi, bermain duo, trio, quartet, bernyanyi dalam koor, bermain dalam orchestra, etc akan membekali kita dengan banyak sekali hal yang tidak mungkin kita dapat jika hanya dengan bermain solo saja.

Pernahkah kita mengenal seseorang yang cenderung terus mengisolasi diri untuk meminimalisir interaksinya dengan orang lain? Pertanyaan dari saya: Bagaimana kira-kira tingkat toleransinya kepada sesama? Tingkat solidaritasnya? Etika sosialnya? Team work skill-nya? Kita tidak heran jika jawabannya adalah kurang, atau rendah untuk semua pertanyaan tadi.

“Mari silahkaaan….” Sambil tersenyum ramah membukakan pintu untuk orang lain; Saling menyapa; Saling mendengarkan; Saling menopang; Give and take; dll. Esensi humanitas atau Esensi dalam berinteraksi dengan sesama perlu diaplikasikan dalam bermain chamber music. Tidak bisa kita bermain chamber music semaunya sendiri. Bermain bersama berarti mencari jalan agar memiliki nafas yang sama, memiliki satu jiwa, memiliki misi yang sama pula (baca: kompak)

“Tapi bisakan kita menjadi musisi tanpa bermain chamber music, pak Teguh?” Jawabannya: Kita bisa tetap menjadi “Performer”, istilah yang lebih tepat saya rasa, namun tidak musisi yang lengkap dan bersahaja. Tanpa berlatih bermain bersama, skill ber-chamber music kita akan (sangat) minim. Bagaimana kita bisa saling mendengarkan kalau belum pernah berlatih mendengarkan orang lain bermain selagi bermain sendiri? Bagaimana kita bisa bernafas bersama jika tidak pernah tahu perlunya bernafas bersama? Bagaimana kita dapat mempunyai satu jiwa, jika curhat/diskusi musik tidak pernah kita lakukan dengan kolega kita?

Nah, bagi guru-guru musik, mari jangan lupa kita tugaskan murid-murid kita untuk bermain chamber musik, tidak hanya solo. Biarlah murid-murid kita tumbuh lebih maksimal lagi. Bagi murid-murid semua, tekunlah dalam berlatih baik format solo maupun chamber. Berlatihlah keduanya secara giat dan sungguh-sungguh agar dapat memberikan manfaat yang sangat besar bagi kalian kelak. Bottom line, mari bersama-sama memajukan kualitas bermusik di tanah air tercinta ini. Hidup Musik Klasik di Indonesia!


True story: Seorang Professor Cello dari Beijing Conservatory memberikan kesaksian disebuah Cello Bienalle di Amsterdam yang kebetulan saya hadiri. “Sedih memang di Cina sana sangat miskin chamber music. Semua orang ingin ber-solo. Chamber music? Untuk apa? Tanya mereka sinis” Audience miris mendengar kesaksian sang professor tersebut.

Friday, March 30, 2012

~ Mindless Practice by Teguh Sukaryo ~

~ Mindless Practice by Teguh Sukaryo ~



Arah dan tujuan adalah kunci penting dalam setiap kali kita berlatih. Sedemikian pentingnya mereka menentukan efisiensi dan efektifitas perkembangan kemajuan latihan kita, termasuk didalamnya penguasaan karya dan pematangan teknik. 

Tidak ada gunanya mengulang-ulang passages mindlessly (read: tanpa berfikir). Selain membuang waktu yang berharga, mindless practice terbukti berdampak negatif: yakni segala sesuatu yang buruk yang terlibat dalam sebuah aksi bermain, termasuk didalamnya bad fingerings, wrong/missing notes, incorrect pedalling and/or unhealthy technique akan semakin dipermantang. Bahkan tersemen kuat jika pengulangan terus menerus dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama. Wah, menyemen teknik kita yang tidak sehat? Membakukan note yang salah? Bermain dengan bad fingerings ataupun frase yang keliru tanpa kita tahu? Bukannya menyedihkan? Progress menjadi regress. Tujuan baik (i.e. berlatih) jadi berpotensi menggigit balik.

Nah, sekarang kita tilik konsekuensinya. Selain we will not do justice to the music we play, diri kita beserta guru kita akan terjerat oleh situasi yang menyulitkan. Tepat sekali, sangatlah sukar untuk memperbaiki garapan-garapan lama yang keliru. Bahayanya lagi (woops, jangan sampai deh) resiko kita terkena Repetitive Stress Syndrome pun meningkat berlipat kali ganda.

Tidak seorangpun dari kita mau berkembang secara keliru, bukan? Apalagi terperosok sampai terkena injury. Injury yang kronis bisa melumpuhkan tentunya, seperti contoh kasus yang sudah sering kita dengar, baik dalam dunia perpianoan maupun pada instrumen yang lain.

Saran saya kepada teman-teman dan adik-adik sekalian:
1. Berlatihlah dengan rasa tanggung jawab yang BESAR.
2. NEVER practice mindlessly.
3. Always listen carefully.
4. Practice slowly and sectionally, and with goals in mind.
Bukannya maksud kita berlatih adalah untuk dapat menguasai sepenuhnya karya yang sedang kita geluti, i.e. to completely master of the works we play, baik dalam segi musikalitas maupun teknik?

Mari, maju dan berkembang ke arah yang benar. Say NO to mindless practice! Kita memilih dan berkomitmen untuk selalu berada pada jalur yang tepat. Ayo, kita semua bisa!!